7/25/2015

Pulang Kampung part 1: Kupang



Selama ini, sebagai seorang anak yang berayah-ibukan orang Flores, saya sering malu jika ditanya “äslinya mana?” (insert joke about tukang fotokopi). “Kemaluan” (grammatically –correct-socially-unacceptable word) saya disebabkan karena saya lahir dan besar di Jakarta dan TIDAK PERNAH ke Flores sama sekali. Jadi begitu saya menyebutkan bahwa saya orang Flores, dan orang tersebut pun mulai bertanya/ bercerita tentang tanah Flores, saya hanya senyum-senyum kecut sembari pelan-pelan ke luar ruangan.

But that would be about to change, saudara-saudara. Karena pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 2015 jam 6 pagi, saya dan seorang teman akan terbang dengan Garuda dari bandara Soetta ke Kupang (ibukota NTT di ujung barat Pulau Timor, ini harus dijelaskan karena banyak juga teman saya yang tidak tahu tepatnya lokasi kota Kupang). Lalu setelah menginap semalam di Kupang, dengan pesawat baling-baling Transnusa, kami akan terbang 1 jam di atas Laut Sabu ke Lewoleba di Pulau Flores. 





Dan hari itu pun tiba lah (dramatic backsound). 

Setelah penerbangan 4 jam, dengan transit setengah jam di Bali, akhirnya kami sampai juga di Bandara El Tari. Di bandara ini sudah mulai terasa bahwa kita tidak ada di pulau Jawa lagi karena tipikal wajah, warna kulit dan rambut mayoritas orang –orang di bandara. Mungkin itu yang menyebabkan saya merasa at home :) . Yang menarik adalah mendengarkan logat dan bahasa yang mereka pakai. Dengan logat yang naik turun, kata-kata bahasa Indonesia yang dipotong dan diucapkan dengan cepat (saya: sa, sudah: su), membuat saya tidak ingin berhenti mendengarkan mereka berbicara.  








Untuk makan siang di Kupang hari itu, kami diajak sepupu saya dan istrinya menyantap makanan khas Kupang: Babi Se’í (smoked pork), dimakan dengan sayur daun ubi campur bunga pepaya dan sup brenebon (sup kacang merah) dan sambel yang lumayan pedas. Saya bukan seorang foodie yang bisa menjelaskan rasa makanan dengan lengkap menggunakan 5 senses (mis: sup ini rasanya seperti musim panas di pantai pasir putih. What??). Tapi suffice to say that saking enaknya itu babi, ketika kami balik ke Kupang untuk perjalanan pulang ke Jakarta, kami makan di tempat itu lagi, Restoran Aroma,  dengan menu yang sama, plus bawa pulang 3 kg babi se’i (1kg = Rp.150 ribu) buat dimakan di rumah. Membayangkan makan indomie rebus ditambah babi se’i membuat air liur saya terbit.




Ada beberapa tempat wisata yang kami kunjungi di Kupang:


1. Taman Ziarah Yesus – Maria, di Oebelo


Jalan masuk ke Taman Ziarah ini terletak di tepi jalan di pinggir pantai. Setelah menyusuri jalan aspal yang sepi, kami sampai di pintu masuk dan mobil harus di parkir, tidak bisa dibawa naik ke atas. Dari pintu masuk, kami berjalan melewati 14 pemberhentian jalan salib. Dan di puncak bukit ada kapel terbuka Yohanes Paulus II. 


Taman Ziarah ini sangat ramai dengan para pengunjung saat bulan Maria (Mei dan Oktober) yang akan ditutup dengan misa di kapel terbuka itu.










2. Pantai Teddys atau Teddy’s


Dua kali kami pergi ke pantai yang terletak di kota lama Kupang ini untuk menikmati matahari terbenam sambil makan pisang gepe (pisang yg dibakar lalu dipipihkan, atau dipipihkan dulu baru dibakar?, dimakan dengan taburan susu kental manis, kacang, mesis coklat etc) yang banyak dijual di sana.

I’m not good with words untuk menggambarkan indahnya sunset di Pantai Teddys, so let’s these following pictures I took speak for themselves.















3. Pantai Toblolong


Pantai ini terletak di Kupang barat. Dari pusat kota Kupang dapat ditempuh dengan hampir 2 jam perjalanan dengan mobil, melewati jalan yang berliuk-liuk . Di beberapa tempat mendekati pantai ini, jalan yang tidak begitu lebar ditutupi oleh kanopi pepohonan, membuat sejuk udara panas di daerah Kupang.

Di gerbang pintu masuk, kami harus membayar tiket masuk (Rp 1500/ orang, kalau tidak salah). Lalu kami menyusuri sepanjang pantai untuk mencari spot yang tidak terlalu ramai. Pantai ini berpasir putih dengan air yang bening. Tidak heran pengunjung dikenai tarif untuk masuk ke pantai ini, tidak seperti di pantai Teddys. Bahkan ketika kami menemukan spot yang bagus, kami harus bayar lagi untuk masuk ke tempat itu, yang setelah tawar menawar, akhirnya 25rb rupiah pun masuk ke kantong bapak penjaga pantai. Walaupun ada tarif masuk, pantai ini cukup ramai oleh wisatawan local, ada serombongan anak muda yang datang dari Soe yang jauhnya 110 km dari Kupang dan dengan mengendarai motor.  









Demikianlah cerita bagian pertama dari perjalanan pulang kampung saya.